Sex janda |
“Siapa?” sahutku.
“Saya, Nyah…” terdengar suara pembantuku di balik pintu.
“Ada apa, Bi?
“Ada tamu mau ketemu Nyonya…”
“Dari mana?” aku bertanya, sebab aku merasa tidak ada janji bertemu dengan siapapun.
“Katanya dari perusahaan asuransi, udah janji ingin bertemu Nyonya.”
Oh ya aku baru
ingat, bahwa aku meminta perusahan asuransi datang ke rumahku pada hari Sabtu
ini, saat aku libur kerja, karena aku ingin merevisi asuransi atas rumah
pribadiku yang telah jatuh tempo. “Suruh dia masuk dan tunggu di ruang tamu,
Bi!” bergegas aku mengenakan pakaianku, hanya daster terusan tanpa bra dan
celana dalam, karena aku tak mau tamuku menunggu lama, wajahku pun hanya
sedikit kuoles bedak. Setelah aku rasa rapi, bergegas aku menemuinya.
“Selamat siang,
Bu!” sapaan hormat menyambutku saat aku tiba di ruang tamu.
“Selamat siang,” aku membalas salamnya.
“Perkenalkan, Bu! saya Ronny marketing executive di perusahaan **** (edited),” tangannya mengundangku bersalaman.
Aku menyambut uluran tangannya, dan mempersilakannya duduk. Sejenak aku perhatikan, usianya kutaksir 25-an, tapi yang membuatku agak tertarik tadi saat posisi berdiri bersalaman, aku sempat mengukur tinggi tubuhku hanya sebatas lehernya, aku perkirakan tingginya 180cm-an, aku agak berkesan apalagi penampilannya bersih dengan kumis tipis menghiasi bibirnya, wajahnya sih memang biasa saja.
“Selamat siang,” aku membalas salamnya.
“Perkenalkan, Bu! saya Ronny marketing executive di perusahaan **** (edited),” tangannya mengundangku bersalaman.
Aku menyambut uluran tangannya, dan mempersilakannya duduk. Sejenak aku perhatikan, usianya kutaksir 25-an, tapi yang membuatku agak tertarik tadi saat posisi berdiri bersalaman, aku sempat mengukur tinggi tubuhku hanya sebatas lehernya, aku perkirakan tingginya 180cm-an, aku agak berkesan apalagi penampilannya bersih dengan kumis tipis menghiasi bibirnya, wajahnya sih memang biasa saja.
Kami terlibat
obrolan panjang tentang asuransi yang ditawarkan, ternyata orangnya supel dan
ramah, cara bicaranya mencerminkan wawasannya yang luas, pandangannya tidak
“jelalatan” seperti lelaki lainnya yang pernah aku temui, padahal puring buah
dadaku yang tidak menggunakan bra terlihat berbayang dibalik dasterku. Tak
banyak pikir lagi, aku segera menyetujuinya, apalagi preminya tidak terpaut
jauh dengan asuransiku sebelumnya. Dia berjanji akan datang kembali minggu
depan membawa polis-nya.
Sepulangnya dia,
aku masih membayangkannya, simpatik sekali orangnya, terutama tubuhnya yang
tinggi, hampir sama dengan almarhum suamiku. Juga aku teringat jawaban almarhum
suamiku bahwa orang yang tinggi agak kurus, 80% senjatanya panjang dan besar
saat aku bertanya, mengapa senjata Mas Rudy (almarhum suamiku), besar dan
panjang? Aku sendiri bingung, tak biasanya aku berpikiran seperti ini, apalagi
baru pertama kali bertemu. Tapi aku tak mau membohongi diriku, aku tertarik
padanya. Waktu seminggu yang dijanjikannya terasa lama sekali. Akhirnya tibalah
hari yang dijanjikannya, aku berias secantik mungkin, meskipun tidak mencolok,
kusambut kedatangannya dengan manis. Kali ini kulihat Ronny mengenakan setelan
pakaian kerja lengkap dengan dasinya.
Setelah polis aku
terima dan menyerahkan pembayarannya, aku mengajaknya mengobrol sedikitmengenai
pribadinya. Ternyata usianya 28 tahun, dengan status bujangan, dan masih
mengontrak rumah di daerah Kebayoran Lama, Jakarta.
“Ibu Linda sendiri, bagaimana?” kini dia balik bertanya kepadaku.
Kujelaskan statusku yang janda, kulihat wajahnya sedikit berubah.
“Maaf, Bu! kalau pertanyaan saya menyinggung perasaan Ibu.”
“Tidak apa-apa, toh gelar ini bukan saya yang menghendaki, tapi sudah suratan.”
Sejak tahu statusku janda, Dia jadi sering datang ke rumahku, ada saja alasannya untuk datang ke rumahku, meskipun kadang terkesan dibuat-buat. Hubungan kami menjadi lebih akrab, diapun tidak memanggilku dengan sebutan “Bu” lagi, tapi “Mbak” sedangkan aku pun memanggilnya Mas Ronny. Tapi yang aku heran dari Mas Ronny adalah sikapnya yang belum pernah menjurus ke arah seks sedikitpun, meskipun sering kali kami bercanda layaknya orang pacaran. Aku jadi berfikiran jelek, jangan-jangan Mas Ronny “Gay”. Padahal aku sudah tetapkan dalam hati, bahwa Mas Ronny lah orang kedua yang boleh membawaku mengarungi samudera kenikmatan.
“Ibu Linda sendiri, bagaimana?” kini dia balik bertanya kepadaku.
Kujelaskan statusku yang janda, kulihat wajahnya sedikit berubah.
“Maaf, Bu! kalau pertanyaan saya menyinggung perasaan Ibu.”
“Tidak apa-apa, toh gelar ini bukan saya yang menghendaki, tapi sudah suratan.”
Sejak tahu statusku janda, Dia jadi sering datang ke rumahku, ada saja alasannya untuk datang ke rumahku, meskipun kadang terkesan dibuat-buat. Hubungan kami menjadi lebih akrab, diapun tidak memanggilku dengan sebutan “Bu” lagi, tapi “Mbak” sedangkan aku pun memanggilnya Mas Ronny. Tapi yang aku heran dari Mas Ronny adalah sikapnya yang belum pernah menjurus ke arah seks sedikitpun, meskipun sering kali kami bercanda layaknya orang pacaran. Aku jadi berfikiran jelek, jangan-jangan Mas Ronny “Gay”. Padahal aku sudah tetapkan dalam hati, bahwa Mas Ronny lah orang kedua yang boleh membawaku mengarungi samudera kenikmatan.
Tapi ternyata
pikiran jelekku tidak terbukti. Kejadiannya waktu malam Minggu Mas Ronny datang
untuk yang kesekian kalinya. Kami memutar film roman percintaan, bibiku sejak
tadi sudah masuk ke kamarnya tidak tahu ngapain. Mungkin sengaja memberi
kesempatan kepada kami anak muda yang sedang dilanda asmara. Saat adegan
percumbuan berlangsung, aku meliriknya, kulihat wajahnya sedikit memerah dan
celana panjangnya yang berbahan tipis, kulihat sedikit menggelembung, akubimbang.
Akhirnya kutetapkan hatiku untuk memulai percumbuan dengannya tapi bagaimana
caranya?Aku ada ide agak tidak terkesan aku yang mau, aku harus pura-pura
sakit.
“Aduh Mas Ron!
kepalaku sakit sekali,” aku mulai menebarkan jaring.
Kupegangi keningku yang tidak sakit, pancinganku berhasil, Mas Ronny menghampiriku.
“Kenapa Mbak?” tanyanya.
“Kok, tiba-tiba sakit.”
“Anu, Mas! tekanan darahku rendah, jadi kadang-kadang kambuh seperti ini,” aku terus merintih layaknya orang kesakitan.
Aku membaringkan tubuhku di sofa.
“Mas, tolong bawa aku ke kamar,” aku semakin nekat.
Kulihat Mas Ronny kelabakan.
“Papah aku, Mas!”
BERSAMBUNG
Kupegangi keningku yang tidak sakit, pancinganku berhasil, Mas Ronny menghampiriku.
“Kenapa Mbak?” tanyanya.
“Kok, tiba-tiba sakit.”
“Anu, Mas! tekanan darahku rendah, jadi kadang-kadang kambuh seperti ini,” aku terus merintih layaknya orang kesakitan.
Aku membaringkan tubuhku di sofa.
“Mas, tolong bawa aku ke kamar,” aku semakin nekat.
Kulihat Mas Ronny kelabakan.
“Papah aku, Mas!”
BERSAMBUNG